Organisasi Maritim Internasional (IMO) mempunyai 4 pilar penting dalam industri maritim global, yang menjunjung keselamatan, keamanan, dan perlindungan lautan. 4 pilar tersebut yaitu;

1. SOLAS 1974

Dikutip dari jurnalmaritim.com SOLAS menjadi standar keselamatan marine yang wajib diterapkan pada kapal niaga (merchant vessel) berukuran tertentu dan menjadi induk bagi terbitnya berbagai standar (code) bagi kontruksi kapal, peralatan, dan pengoperasian.

Format SOLAS 1974 mengatur standar keselamatan pelayaran pada tiga aspek: konstruksi kapal, peralatan, dan operasional, yang tersebar dalam 14 bab (chapter), plus code yang menjadi derivasinya. Isi dari SOLAS 1974 cetakan tahun 2014 (Consolidated Edition 2014), adalah sebagai berikut:

Bab I: Ketentuan Umum, berisi tentang peraturan-peraturan survei berbagai jenis kapal, dan ketentuan pemeriksaan kapal oleh negara lain.

Bab II-1: Konstruksi, berisi persyaratan konstruksi kapal, sekat-sekat kedap air, stabilitas kapal, permesinan kapal dan kelistrikan.

Bab II-2: Perlindungan dari kebakaran, deteksi kebakaran dan pemadam kebakaran. Berisi tentang ketentuan tentang sekat kedap api, sistim deteksi kebakaran, dan peralatan, jenis dan jumlah pemadam kebakaran diberbagai jenis kapal. Detail bab ini dapat dilihat di FP Code.

Bab III: Alat-alat keselamatan dan penempatannya. Dari Bab ini kemudian diberlakukan LSA Code.

Bab IV: Komunikasi Radio (Radio Communications), berisi ketentuan pembagian wilayah laut, jenis dan jumlah alat komunikasi yang harus ada di kapal serta peroperasiannya. Derivasi dari bab ini adalah GMDSS.

Bab V: Keselamatan Navigasi (Safety of Navigation), berisi ketentuan tentang peralatan navigasi yang harus ada di kapal, termasuk Radar, AIS, VDR dan mesin serta kemudi kapal.

Bab VI: Pengangkutan muatan (Carriage of Cargoes), berisi ketentuan tentang bagaimana menyiapkan dan penanganan ruang muat dan muatan, pengaturan muatan termasuk lashing. Derivasinya adalah IG (International Grain) Code.

Bab VII: Pengangkutan muatan berbahaya (Carriage of dangerous goods), berisi ketentuan tentang bagaimana menyiapkan dan menangani muatan berbahaya yang dimuat di kapal. Turunan dari bab ini kita kenal dengan nama IMDG Code.

Bab VIII: Kapal nuklir (Nuclear ships), berisi ketentuan yang harus dipenuhi oleh kapal yang menggunakan tenaga nuklir, termasuk bahaya-bahaya radiasi yang ditimbulkan.

Bab IX: Manajemen keselamatan dalam mengoperasikan kapal (Management for the Safe Operation of Ships), berisi ketentuan tentang manajemen pengoperasian kapal untuk menjamin keselamatan pelayaran. Bab ini hadir karena peralatan canggih tidak menjamin keselamatan tanpa manajemen pengoperasian yang benar. Dari Bab inilah lahir ISM Code.

Bab X: Keselamatan untuk kapal berkecepatan tinggi (Safety measures for high-speed craft), berisi ketentuan pengoperasian kapal yang berkecepatan tinggi. Dari sini kemudian diberlakukan HSC Code.

Bab XI-1: Langkah khusus untuk meningkatkan keselamatan maritim (Special measures to enhance maritime safety), berisi ketentuan tentang RO (Recognized Organization), yaitu badan yang ditunjuk pemerintah sebagai pelaksana survey kapal atas nama pemerintah, nomor identitas kapal dan Port State Control (Pemeriksaan kapal berbendera asing oleh suatu negara).

Bab XI-2: Langkah khusus untuk meningkatkan keamanan maritim (Special measures to enhance maritime security), berisi ketentuan bagaimana meningkatkan keamanan maritim, oleh kapal, syahbandar dan pengelola pelabuhan. Dari Bab ini kemudian diberlakukan ISPS Code.

Bab XII: Langkah keselamatan tambahan untuk kapal pengangkut muatan curah (Additional safety measures for bulk carriers), berisi ketentuan tambahan tentang konstruksi untuk kapal pengangkut curah yang memiliki panjang lebih dari 150 meter.

Bab XIII: Verifikasi kesesuaian (Verification of compliance), berisi ketentuan tentang implementasi SOLAS 1974 di negara-negara yang telah meratifikasi. Penambahan Bab ini untuk mendukung pemberlakuan Triple I Code (IMO Instrument Implementation Code).

Bab XIV: Langkah keselamatan untuk kapal yang beroperasi di perairan kutub (Safety measures for ships operating in polar waters), berisi ketentuan yang harus dipenuhi oleh kapal yang berlayar di wilayah kutub dan sekitarnya. Derivasi bab ini adalah Polar Code.

2. MARPOL (Marine Prevention Pollution)

Seperti yang sudah dijelaskan di halaman IMO. Konvensi Internasional untuk Pencegahan Pencemaran dari Kapal (MARPOL) adalah konvensi internasional utama yang mencakup pencegahan pencemaran lingkungan laut oleh kapal karena sebab operasional atau kecelakaan. Dilampir dalam 6 Annex sebagai berikut;

Annex I: Peraturan Pencegahan Pencemaran Minyak.

Annex II: Peraturan Pengendalian Pencemaran Bahan Cair Berbahaya dalam Jumlah Besar.

Annex III: Pencegahan Pencemaran oleh Zat Berbahaya yang Dibawa Melalui Laut dalam Bentuk Kemasan.

Annex IV: Pencegahan Polusi oleh Limbah dari Kapal.

Annex V: Pencegahan Pencemaran oleh Sampah dari Kapal.

Annex VI: Pencegahan Polusi Udara dari Kapal.

3. STCW (Standart Training Certificate Watchkeeping)

Pada 25 Juni 2010, Organisasi Maritim Internasional (IMO) serta stakeholder utama lainnya dalam dunia industry pelayaran dan pengawakan global secara resmi meratifikasi apa yang disebut sebagai “Amandemen Manila” terhadap Konvensi Standar Pelatihan untuk Sertifikasi dan Tugas Jaga bagi Pelaut (STCW). Amandemen STCW ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.

berikut menguraikan perbaikan-perbaikan kunci yang diwujudkan melalui Amandemen baru, yaitu:

1. Sertifikat Kompetensi & Endorsement-nya hanya boleh dikeluarkan oleh Pemerintah – sehingga mengurangi kemungkinan pemalsuan sertifikat kompetensi.

2. Pelaut yang telah menjalani pemeriksaan kesehatan sesuai Standar medis umum untuk pelaut dari satu negara dapat berlaku di kapal yang berasal dari negara lain tanpa menjalani pemeriksaan medis ulang.

3. Persyaratan revalidasi sertifikat dirasionalisasi untuk kepentingan pelaut.

4. Pengenalan metodologi pelatihan modern seperti pembelajaran jarak jauh dan pembelajaran berbasis web.

5. Jam istirahat bagi pelaut dikapal diselaraskan dengan persyaratan Maritime Labor Convention ILO/MLC (Konvensi Buruh Maritim ILO) 2006, dengan maksud untuk mengurangi kelelahan.

6. Memperkenalkan persyaratan-persyaratan tambahan untuk menghindari alkohol dan penyalahgunaan zat terlarang.

7. Kompetensi dan kurikulum baru harus terus diperbarui mengikuti perkembangan teknologi modern dan kebutuhan riil dilapangan.

8. Pelatihan penyegaran dibahas dengan layak dalam konvensi.

4. MLC (Maritime Labour Convention)

MLC (2006) adalah konvensi yang diselenggarkan oleh International Labour Organization (ILO) pada tahun 2006 di Genewa, Swiss. MLC 2006 bertujuan untuk memastikan hak-hak para pelaut di seluruh dunia dilindungi dan memberikan standar pedoman bagi setiap negara dan pemilik kapal untuk menyediakan lingkungan kerja yang nyaman bagi pelaut. Ini dilakukan karena pelaut bekerja lintas negara sehingga perlu diatur suatu standar bekerja yang berlaku secara internasional.

Ada 5 tema (klausul) yang dibahas dalam MLC 2006 yang berisi persyaratan-persyaratan yang kesemuanya dibuat untuk melindungi hak pelaut (Source: konsultaniso.web.id). Kelima klausul itu adalah:

1. Persyaratan Minimal Pelaut Yang Bekerja Di Kapal.

  • Usia Minimal Pelaut: Usia minimal adalah 16 tahun tetapi untuk kerja malam atau area berbahaya, usia minimal 18 tahun.
  • Kondisi Kesehatan: Pelaut harus menyertakan sertifikat kesehatan (medical report) yang diakui oleh negara bersangkutan.
  • Pelatihan: Pelaut harus mendapatkan pelatihan yang berkaitan dengan pekerjaannya sebelum melaut dan juga harus mendapatkan training keselematan diri (Personal Safety Training)
  • Rekutmen atau Penempatan pelaut harus dilakukan dengan menjalankan prosedur penempatan dan pendaftaran yang baik, adanya prosedur keluhan dan harus ada kompensasi bila proses rekrutmen gagal.

2. Kondisi Kerja.

  • Kontrak Kerja: Kontrak harus jelas, legal, dan mengikat.
  • Gaji: Gaji Pelaut harus dibayar sekurang-kurangnya setiap bulan dan harus ditransfer secara berkala ke keluarga bila dibutuhkan.
  • Waktu Istirahat: Waktu istirahat harus diterapkan sesuai dengan peraturan negara yang berlaku. Maksimal jam kerja adalah 14 jam dalam sehari atau 72 jam dalam seminggu atau jam istirahat minimal adalah 10 jam dalam sehari atau 77 jam dalam seminggu. Selanjutnya, waktu istirahat tidak boleh dibagi menjadi lebih dari 2 periode dimana setidaknya 6 jam waktu istirahat harus diberikan secara berurutan dalam satu dari dua periode.
  • Cuti : Pelaut memiliki hak cuti tahunan serta cuti di daratan.
  • Pemulangan: Pemulangan pelaut ke negara asalanya haruslah gratis.
  • Kandas/ Hilang : Bila kapal hilang atau kandas, pelaut memiliki hak pesangon.
  • Karir: Setiap kapal harus punya jenjang karir yang jelas bagi pelaut.

3. Akomodasi, Fasilitas Rekreasi, Makan, dan Catering.

  • Akomodasi : Akomodasi untuk tempat tinggal dan bekerja harus memperhatikan kesehatan dan kenyamanan pelaut. Ada beberapa persyaratan minimal ruang tidur, ruang hiburan, dan asrama.
  • Makan dan Catering : Kualitas maupun kuantitas makanan harus diatur mengikuti negara sesuai bendera kapal (Flag State). Koki juga harus memiliki pelatihan yang tepat.

4. Perlindungan dan Perawatan Kesehatan, Kesejahteraan, dan Perlindungan Keamanan Sosial.

  • Perawatan Medis di kapal dan di darat: pelaut harus mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan selama di kapal tanpa biaya dan dengan kualitas pelayanan kesehatan yang sama dengan yang ada di darat.
  • Kewajiban Pemilik Kapal: Pelaut harus dilindungi dari dampak keuangan akibat sakit, cidera, atau kematian yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Pelaut juga harus tetap mendapatkan gaji setidaknya 16 minggu semenjak mulai sakit.
  • Perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja : Lingkungan kerja yang aman dan higienis harus diberikan selama bekerja maupun istirahat. Pengukuran tingkat kemanan (identifikasi bahaya dan pengendalian resiko) harus dilakukan untuk mencegah kecelakaan kerja.
  • Akses ke Fasilitas di daratan: Port States harus menyediakan fasilitas budaya, rekreasi dan informasi yang cukup di daratan dan semua fasilitas tersebut terbuka untuk semua pelaut tanpa membedakan ras, kelamin, agama dan pandangan politik.
  • Kemanan Sosial: Perlindungan sosial harus diberikan ke semua pelaut.

5. Penerapan dan Pelaksanaan.

  • Flag states: Flag states (Negara dimana bendera kapal beroperasi) bertanggung jawab memastikan penerapan aturan untuk kapal yang menggunakan benderanya. Setiap kapal harus dilengkapi “Certificate of Maritime Compliance”. Setiap kapal juga diwajibkan memiliki prosedur keluhan untuk semua kru kapal dan harus menginvestigasi keluhan yang terjadi.
  • Port States: Port States (negara dimana kapal bersandar) harus melakukan inspeksi tergantung pada keberadaan “Certificate of Maritime Compliance”. Bila sertifikat telah dimiliki (dan bendera kapal berasal dari negara yang telah meratifikasi MLC 2006), maka investigasi hanya dilakukan sekedar untuk memeriksa adanya indikasi ketidakpatuhan terhadap standar. Bila kapal belum memiliki sertifikat, maka investigasi harus dilakukan secara menyeluruh dan harus memastikan kapal telah memenuhi ketentuan MLC 2006. Dengan demikian, MLC 2006 secara tidak langsung juga berlaku untuk negara yang belum meratifikasi MLC 2006 bila mereka ingin berlabuh di negara yang sudah meratifikasi MLC 2006.
  • Agen Pelaut: Agen yang menyediakan pekerja untuk kapal juga harus diinspeksi untuk memastikan mereka menerapkan dan tersertifikasi MLC 2006 (juga peraturan lain yang terkait keamanan sosial)